Prioritas.
Jumat, 06 Maret 201500.59
Halo, sudah lama ya tidak jumpa
Jujur saja, saya kangen sekali menulis, tapi jujur saja... banyak hal yang berubah, sehingga saya bingung ingin menulis apa... saya sudah tidak bisa se cepat itu mengembalikan mood menulis saya dalam dua atau lima hari. Saya benar benar tidak tau bagaimana caranya mengembalikan mood dengan sengaja
tapi saya rindu sekali ingin menulis.
Walaupun sampai saat ini, saya tidak ada bahan yang tepat untuk di tulis...
karena saya berubah banyak. sangat banyak
Semua ini berawal dari dua tahun belakangan ini, ketika saya benar benar masuk dalam suatu hubungan yang sangat matang...
Saya bertemu dengan dia pada tahun 2012
Tidak ada yang istimewa, baik dia untuk saya, juga saya untuk dia. Tapi yang saya tahu, saya menyukainya saat awal bertemu, rasanya bergetar hebat. tapi hanya bergetar, dan tidak terjadi apa apa... karena saya tau saya hanya mengagumi senyumnya yang tersimpul rapi seperti anak kecil.
singkat cerita setelah beberapa pertemuan saya semakin menyukainya, tetapi saya masih menemui keraguan..., saya sempat berdoa
"Tuhan, saya tidak tau apa yang engkau rencanakan, tapi jika memang dia jalanku... maka dekatkanlah kami"
dan terikatlah kami pada suatu komitmen.
Berbulan bulan kami menemukan banyak sekali kecocokan dan ketidak cocokan, membutuhkan banyak logika, perasaan, toleransi dari kedua pihak. Tapi kami sadar pada akhirnya, kami sedang di dewasakan...
Hingga pada suatu waktu, kami harus merelakan jarak masuk pada hubungan kami, semuanya baik baik saja
tapi kami sadar bahwa ada yang harus kami beri makan, rindu dan ego
"Kenapa tidak menikah saja?" tanya kami pada kami.
Hingga akhirnya kami membuat nazar.
Tapi saya percaya Tuhan juga memiliki selera humor, nazar kami pun batal terlaksana.
Mungkin Tuhan tau, bahwa kami belum sepenuhnya siap.
Maka diujilah kami pada realita yang sebenarnya,
saya akhirnya sadar
bahwa "Menikah" pada umur saya (21 tahun) bisa dikatakan menikah muda dan impian banyak gadis, termasuk saya
ya, saya paham. karena saya hanyalah mengusahakan ego saya menang lagi.
Menikah itu menyenangkan, ya bagaimana tidak ?
Ketika setiap pagi sudah terdapat simpul senyum rapi bak anak kecil di depan saya
Ketika pada akhir hari saya sadar bahwa saya adalah alasan bagi dia untuk pulang, dan berangkat lagi di pagi harinya.
Ketika kami merencanakan sesuatu bersama sama.
Ketika kami dipandang sebagai satu kesatuan yang sah bagi agama, juga negara.
Tapi, apakah kami siap ?
Kami siap
Tapi bekal financial kami belum siap.
Kami siap, karena kami bukan orang yang neko neko
beruntungnya dia bukan laki laki yang serakah wanita.
dan beruntungnya saya juga bukan wanita yang haus di puji puji oleh banyak pihak.
Jadi agaknya kami cenderung puas dengan satu sama lain.
Tapi kembali lagi kami renungkan
Bagaimana jika keluarga kecil kami tidak berhasil ?
Bukankah pernikahan itu tumbuh, tidak hanya sebatas romantisme pasangan muda.
maka ada satu yang kami takutkan dan tidak ingin sekalipun ada kata gagal.
Anak.
kami tidak mau anak kami gagal.
kami akan gagal ketika kami tidak bisa memberikan usaha maksimal untuk mengantar anak kami pada cita citanya.
terutama karena dana.
Kami sekalipun tidak mau, anak kami harus mengubah cita citanya atau bahkan mengubur cita cita nya cuman karena kendala biaya.
Dan karena itulah,
Dia, pria yang saya sanding bersama komitmen, mengubah banyak tentang saya.
Masalah saya sudah bukan kenapa orang tua tidak memberi ijin main keluar atau kenapa tidak membelikan handphone canggih lagi. Bukan
Masalah saya sekarang bagaimana dia dan saya bersama sama, bisa menjamin kehidupan financial keluarga kecil kami berkecukupan nanti.
Dari pemikiran sesederhana inilah
Orang yang tepat tidak membutuhkan usaha yang besar untuk mengubah prioritas saya.
Bagaimana saya sadar sekarang, bahwa memang realita yang harus saya lihat.
sebelum menerima banyak pujian dan karangan bunga di hari mengucap ikrar sah.
Terimakasih, kekasih.